Entah mengapa aku ingin menuliskan sesuatu untukmu,
untuk yang pertama sekaligus terakhir kali
Aku ingin hari ini ditandai,
aku ingin kepergianmu dimaknai.

Aku telah mengenalmu cukup lama,
cukup untuk membuatku hafal suara ayunan langkah kakimu atau deret nomor teleponmu di luar kepala.
Aku telah jauh mengenalmu,
sebelum aku mengerti cinta apalagi luka.

Sampai di bagian ini, aku kehilangan kata-kata.
Kau hanya mengajariku mencintai, hingga aku tak mengerti bagaimana mengakhiri.
Kau selalu jadi yang pertama pergi,
kau selalu jadi yang terakhir memulai
Menyayangi seseorang kemudian pergi begitu saja,
aku sungguh tak mengerti bagaimana caranya.

aku dan kau pernah sama-sama khawatir ketika salah satu dari kita masih berada jauh dari rumah dan hujan mulai datang membawa petir,
aku dan kau pernah sama-sama menatap bulan dari jendela balkon kita yang berjarak ratusan kilometer hanya untuk menyadari bahwa kita bernaung di bawah langit yang sama.

masihkah kau ingat?
ketika kau tergesa datang di tengah hujan lebat hanya untuk mengantarkan obat.
ketika aku terjaga bersamamu saat maagmu kambuh di saat yang tidak tepat.

aku pun tak mengerti kapan tepatnya ketika kau menjelma jadi seseorang yang punya arti tersendiri.
ketika kehadiranmu jadi pelega nafasku,
ketika sapaanmu mulai jadi candu saat hariku kelabu.
sama seperti aku tak mengerti kapan tepatnya kau memutuskan pergi.

tak ada yang kusesali dari segenap rasa dan hari-hari yang kuhabiskan dengan kau di dalamnya.
segala detik dan detak bersamamu yang membuat hidup lebih bahagia.

tak penah ada yang mengajariku bahwa janji dan cinta punya tanggal kadaluwarsa,

aku melepasmu bukan karena kau tak punya arti,
aku hanya ingin ketika suatu hari nanti kau kembali, kau datang atas keputusanmu sendiri,
dan kau tak akan pergi lagi.

hingga saat itu tiba,
mari berlayar ke semua samudra.
masih ingatkah engkau,
pada suatu pagi di bawah tenda?
saat kau bercerita tentang layang-layang putus di pohon tua,
tentang benangnya yang tersangkut di ranting paling rendah,
namun kau tetap tak mampu mencapainya
pagi itu mendung begitu pekat namun tetes hujan belum mendarat.
kuhabiskan pagi memandang bola matamu yang menerawang jauh lekat-lekat.
api unggun telah lama padam,
namun dari sana aku masih mampu merasakan hangat.

kedua jarum pada jam tanganku telah bertemu di utara,
namun matahari masih bersembunyi di tempatnya.
mendung yang bergelantung membuat langit semakin limbung,
kurasa, dia tak kan mampu menopangnya lebih lama.

hujan sebentar lagi tiba dan kita berdua tak punya payung, kataku waktu itu.
kau tak menjawab,
lalu kau letakkan kedua telapak tanganmu di atas kepalaku,
mungkin aku memang tidak, namun kau akan selalu punya payungmu.
katamu.
ah, kudengar guruh mulai gemuruh di dadaku.

rintik-rintik air luruh dari langit menciptakan jalanan licin di tepi parit,
berkas sinar matahari sore menciptakan bias di sela dedaunan basah,
berjalan bersamamu ke arah senja menciptakan pelangi di tapal batas ingatanku.

pada hari itu, ada satu yang luput dari perhatianku
bahwa kelak di kemudian hari, payung sederhana dari kedua tanganmu akan meretaskan hujan berkali-kali.
hujan yang kali ini tak lagi kau mampu tadahi,
hujan yang tak lagi mampu menciptakan lengkung warna-warni,
karena hujan itulah airmataku,
dan kau, matahari, telah pergi tanpa meninggalkan pelangi.

Apa yang terjadi jika kita tak memiliki kenangan?
wangi kopi dan sensasi hangatnya di lidah, adalah alasan kita untuk memesan kopi yang sama ketika berkunjung di kafe langganan,
kawan yang selalu ada sepanjang tawa maupun sedu sedan, adalah alasan kita untuk selalu merentangkan tangan ketika menyambutnya pulang.

Kita,
adalah simpul kenangan,
dari dua tali bernama "aku" dan "kamu".
Tanpa kenangan,
tentu kita sepenuhnya bukan siapa-siapa, bagi satu dan lainnya.

Setiap kehadiran manusia dalam hidup kita sesungguhnya tak pernah benar-benar jadi perpisahan.
Mereka meninggalkan jejak di suatu ruang dalam benak kita, yang jika mereka cukup beruntung, juga akan menyelipkan kita selembar memori di dalam hati.
Kita hanya perlu menyiapkan satu kata kunci, maka keberadaan mereka yang mengendap oleh waktu akan muncul lagi ke permukaan.
Beberapa manusia dikirimkan ke dalam hidup kita dengan kata kunci tertentu, misalnya; kecewa, luka, cinta pertama, bahagia.
Terkadang kita lengah dan menyangka bahwa kata kunci untuk kita itu adalah pilihan mereka. Tentu saja tidak, karena kitalah pemilik benak dan hati sepenuhnya. 
Manusia tertentu, bisa jadi melambungkan harapanmu luar biasa tinggi sebelum memutuskan untuk menghilang seolah ditelan bumi. Kita bisa saja mengenangnya sebagai dia-yang-tak-tahu-diri atau memilih mengenangnya sebagai tinggalkan-dia-dengan-berani.

Jika kau belum memahami, mari kuberi contoh lain seperti apa yang kualami sendiri.

Seseorang pernah hadir dalam hidup kita dan membuat kita merasakan bahagia dalam bentuk yang berbeda-beda, lalu untuk suatu alasan, dia memutuskan untuk tidak melakukannya lagi.
Pergi dari kehidupan kita merupakan pilihannya, dan melepaskan dia adalah apa yang seharusnya. Beberapa kehadiran memang dimaksudkan sebagai persinggahan.
Namun terkadang, kita memberikan seseorang waktu lebih lama untuk tinggal bersama kita melebihi yang pantas mereka terima.
Kemudian ruang kosong atas kepergian seseorang itu memaksa rasa sakit dan kecewa untuk masuk menggantikan tempatnya, hingga kita lupa, bahagia pernah tinggal disana.

Adalah sepenuhnya sahih buat kita menentukan apa yang terjadi dalam benak dan hati kita.
Seseorang yang memberimu luka tak harus dikenang sebagai kecewa, jika bagaimanapun, seseorang itu pernah membuatmu bahagia.

Hingga nanti pada suatu hari kau kan sadari,
bahwa segenap luka yang seseorang-seseorang itu tinggalkan, adalah jalan masuk bagi cahaya yang membimbingmu menjadi manusia. Seutuhnya.
Secangkir kopi di atas meja, warnanya hitam pekat, aromanya yang khas masih lekat di hidungku.
Secangkir kopi yang sama seperti biasanya, tanpa ada yang istimewa. 
Dia bahkan tidak bergula.

Kehadirannya di atas meja adalah saksi bergulirnya lagi cerita tentangmu, tentang hujan, tentang senja-senja yang lewat di balik mendung, tentang apa saja yang bisa kuingat.
Cerita-cerita yang tak terlalu panjang, namun tak pernah bisa kuselesaikan.
Rasanya belum terlalu lama, tapi aku selalu lupa bagaimana cara mengakhirinya.

Ah, aku ingat.
Mungkin itu karena seharusnya kamu yang melakukannya.
Bukankah kamu selalu mahir mengakhiri sesuatu? 

Aku hanya ingat bagaimana kita memulainya.
Kamu, yang entah mengapa bersikeras ingin bicara segera. Sudah tidak ada lagi waktu, adalah alasanmu hari itu.
Waktu itu bahkan jarum panjangku belum berjalan terlalu jauh, namun kakiku terasa merapuh. Sekali dalam hidupku, aku ingin lumpuh. Aku ingin punya alasan untuk tetap diam dan tidak berlari. Kenyataan tak menyisakan ruang untukku bersembunyi.
Waktu itu bahkan gema denting sendok yang beradu pada cangkir kopiku belum lagi pergi, namun telingaku terasa sunyi. Sekali dalam hidupku aku ingin tuli. Aku ingin punya alasan untuk tetap diam dan tidak mendengar kata-kata yang kamu ucapkan. 

Kamu diam
Aku diam
Kamu kemudian pergi
Aku sendiri

Ah, sungguh aku tidak mengerti bagaimana caranya kuakhiri cerita ini.
Secangkir kopi di atas meja kini tidak lagi hangat.
Namun sungguh tak ada lagi yang bisa kuingat tentang hari itu selain kamu yang bergegas pergi dan tidak menoleh lagi.

Mungkin kamu hanya ingin pulang sebelum hujan dan petang. Iya kan?

Hari ini kudengar hujan deras akan datang di kotamu.Semoga kamu tidak lupa memakai jaket dan minum segelas cokelat hangat.
Hari ini hujan deras melanda kota, dan entah bagaimana caranya, hujan selalu bisa membuat hati dan harimu berganti suasana.
Mungkin senang, ketika kamu terjebak dengan orang-orang yang menyenangkan.
Mungkin sedih, ketika kamu terjebak pada kenangan yang sekuat tenaga kamu coba lupakan.


Hujan hari ini sungguh deras, perciknya tak lagi hanya meriuhkan genting tapi juga membuih di jendela.
Hembus angin menerbangkan tetesannya hingga ke beranda bahkan sekitar lobi, sungguh tak ada lagi tempat bersembunyi.


Biasanya, hujan tak pernah datang sendirian.
Selalu dibawakannya seorang teman atau sepintas kenangan.
Namun kali ini, keduanya tak kudapatkan.

Seseorang yang kutemui berteduh di tempat parkir karena kebetulan lupa membawa mantel atau yang sekadar malas menerabas hujan dan memilih untuk menunggu hingga reda bisanya berakhir menjadi teman.
Aku dan dia akan sempat bertukar nama atau sapa seadanya sembari menunggu rintik terakhir.
Namun kali ini tidak.
Kupilih untuk segera pulang meski hujan tengah pada puncaknya, entah mengapa.

Kenangan di hari-hari lalu bersama seseorang yang meninggalkan cerita di benakmu biasanya mampu datang lagi tiap hujan tiba, dan biasanya bertahan hingga beberapa saat setelah reda. Kenangan yang kemudian membawaku pada selembar foto lama, sebaris lirik lagu, maupun secangkir cokelat hangat untuk sekadar menemaniku mengenangnya.
Namun kali ini tidak.
Kupilih untuk menganggapnya sebagai bukti bahwa otakku masih bekerja sempurna, entah mengapa.

Tak ada teman
Tak ada foto
Tak ada lagu
Tak ada kenangan
Bahkan, tak ada secangkir cokelat hangat seperti biasanya.

Mungkin aku mulai lupa caranya.
Mungkin aku mulai bosan melakukannya.
Sesuatu yang terus menerus terjadi padamu, seringkali membiaskan rasa.
Sesuatu yang tak pernah alpa di dekatmu, kadangkala berlalu kehilangan makna.

Seperti kehadiran yang terus menerus kadang membuat "setia" berubah arti menjadi "begitulah sewajarnya".
Seperti perhatian yang selalu ada kadang merubah "ketulusan" berubah arti menjadi "sudah keharusan"

Seorang teman
Sebuah kesempatan
Sedekap pelukan
Sebait pesan singkat
Seucap sapaan
Secangkir kopi
Sepasang telinga
Sesimpul senyuman
Adalah hal-hal yang seringkali lupa kita syukuri, justru karena mereka selalu ada di sekitar kita, tanpa diminta.

Bisa jadi kita lupa, kapan terakhir kali mengucapkan terima kasih pada sahabat terdekat,
kapan terakhir kali memeluk Ibu atau Bapak,
kapan terakhir kali menyapa teman seperjalanan yang kita temui ketika pulang.

Kehadiran yang ada tanpa alpa, membuat kita kemudian lupa memaknainya.

Mungkin sama seperti ketika kita memutuskan pulang di tengah hujan.
Derasnya tetesan yang jatuh di tubuh kita,
membuat dinginnya tak lagi teraba, dan basahnya tak lagi terasa.

Dan yang kemudian kita bisa ingat tentang hujan, adalah ketika dia meninggalkan kita, dalam demam.
Aku rindu
entah kepada kamu
entah kepada kita
entah kepada diriku saat aku bersamamu.

Aku rindu
kepada malam yang kita habiskan bersama
di teras rumah
di sudut kafe dekat jendela
di antara pepohonan
di jalanan kota tua.

Aku rindu
pada caramu tertawa
pada gerak tangan
pada bibir
pada binar matamu.

Aku rindu
pada pembicaraan kita tentang hal-hal sederhana
tentang hujan dan gerombolan domba
tentang biji kopi dan lagu lama
tentang layang-layang dan matahari senja.

Aku rindu
hening yang begitu dekat
genggam yang begitu lekat
peluk yang begitu erat
rasa yang begitu kuat.

Aku rindu
pada hari-hari yang kini kamu sebut masa lalu
pada hari-hari yang kini kamu sembunyikan dari waktu
pada hari-hari yang kini kamu tak mau tahu.

Lebih daripada itu,
aku rindu dirindukan kamu.
terkadang,
sesuatu lebih baik tetap diam dan tersimpan di hatimu,
tak perlu diucapkan, tak usah diceritakan.
bahkan ketika kau lebih baik terluka, dalam diammu.
karena kesulitan tentu akan membuatmu mensyukuri sedikit kenyamanan.
mungkin sedikit berbeda ketika kita belajar menerima, belajar memiliki kehilangan.
kenyataan memang untuk diketahui, lalu diterima dan dijalankan.

tak apa jika tak ada yang tau.
tak apa meski tak tersampaikan.
tak apa melepas yang memang tak ada.
akan lebih mudah bagimu untuk melupakannya.

biarkan cerita ini tetap tersimpan rapi di hatiku, dan mungkin di hatimu.


*repost from my facebook notes